Persahabatan

Ahsan menarik nafas sejenak, membuangnya seketika, hatinya masih tampak lebih meski ia sudah berkepala dua, serta Merta ia masih teringat peristiwa tak terlupakan 5 tahun lalu saat ia diseret dari rumah temannya, menaiki mobil bak terbuka yang dikemas sedemikian rupa hingga tertutup rapat, menuju kesebuah negeri yang sendiri belum pernah menjelajahinya, ia tak mampu berontak saat itu karena ia masih dalam keadaan mabuk berat, kala itu ia merasa heran mengapa ia diangkut kesebuah mobil oleh seseorang yang tak dikenal, lalu dengan sekali tancap mobil tersebut melaju dengan kencangnya hingga ia tak menyadari bahwa ia telah meninggalkan rumahnya, sma-sama ia melihat ayah dan ibunya yang berada di depan, disamping sang sopir hanya menangis tersedu-sedu, entah apa yang menjadi bebannya saat itu

Sekarang ia meyadari bahwa ia takkan bertemu lagi dengan teman sekamarnya, seperti Furqon, Kholili, Fariz, Hafidz yang gemar men-tadzarus Al-Qur’an dan setengah mati berusaha menerjemahkan dan menafsirkannya, Kholili yang sangat mengidolakan Hadral As Syaikh KH. Hasyim Asy’Ari, KH. Wahid Hasyim dan KH Abdurrohman Wahid, Mantan Presiden RT, Fariz yang lancar berbahasa arab dan terkadang terlihat junawa saat berbicara, Haridz yang paham betul seluk beluk nahwu – Sorrof disertai sejarahnya. Itulah sekelumit kenangan yang bisa ia ingat disat saat seperti ini

Ia sendiri merasa akan sangat menrindukan Kyai Husni, sang hadrat As Syaikh di pesantren ini, dikarenakan kemarahan dan kesabarannya dalam mendidik para santri meski ia sering terkena dampang sang kayai disebabkan kebodohannya dalam mata pelajaran Nahwu-Sorrof bagi Ahsan, Kyai Husni begitu pandai merangkul masyarakat disekitar pesantren, Misfahul Ulum yang didikan buyutnya, Almarhum KH. Zuhri Bisir Ojuddin, itu terbukti banyak dari mereka yang mendapatkan lapangan kerja baru semenjak bedirinya pesantren ini, sehingga menghentikan kebiasaan buruk mereka yakni mabuk-mabukan, merampok dan membunuh

Pernah ia suatu kali terlambat bangun tahajjud keempat teman sekamarnya yang sudah melaksanakan sholat justru mengerjainya dengan menghantarkan titik air melalui jari tangan mereka menuju kewajahnya, kontan saja ia terbangun seketika dan segera memasang kuda-kuda khas silat pesantren, ia memang terhitung jago dalam hal tersebut, ia sedang bermimpi berkelahi dengan Firaun, penentang ajaran Nabi Musa As. Namun ia tak temukan lawan saat terdasar dengan suara lemas khas seperti orang yang baru terbangun dari tidur, ia berteriak “bocor, bocor!!! “teman-temannya menertawainya dengan puas, dikarenakan atap dari kamar mereka terkadang bocor saat hujan deras tiba dan inilah yang terlintas dipikiran Ahsan saat terbangun waktu itu

Advertisements

Report This Ad

Satu lagi yang sulit ia lupakan ialah pesantren Miftahul Ulum yang tlah bersamanya selama 5 tahun berakhir suasana pesantren yang hijau, asri, ditambah pula dengan teman-teman sesame santri, keluarga ndalem dan juga masyarakat sekitar yang sangat ramah kepada siapapun, seakan semakin menambah berat baginya untuk meninggalkan pesantren tersebut kendati sudah tiba saatnya, Kyai Husni yang tak pernah berhenti tersenyum meski sudah kian renta, para santri yang ramah, teman sekamar yang sudah baik, sahabat karibnya itu semua sulit dilupakan

Ia memang tak mengerti, mengapa harus ada perpisahan di dunia ini, disaat ianya masih mendambakan semuah pertemuan, meski akhirnya waktulah yang memisahkan ia dengan pesantren tersebut, ia paham betul bahwa ia akan sangat merindukannya, suatu saat nanti, ia merasa ilmu yang dimilikinya masih belum cukup kendali, ia terhitung santri senior disini hanya karena usianya yang sudah lebih tua dari santri lainnya, buka karena ilmu yang dimilikinya, ya ia pulang dengan segera dan sedikit terpaksa karena dengan tiba-tiba ibunya dating dari Jakarta, lalu seketika berencana memulangkannya, sungguh ironi, disaat ia sedang sangat bersemangat belajar di pesantren ini, ia justru harus pulang secara mendadak

“sholatullah salamullah “ala thaha Rosulillah, Sholatullah salamulla ‘ala yasin habibillah….”

Senandung sholawat terdengar jelas dan mengiang – ngiang ditelinga Ahsan saat ia akan beranjak dari tempatnya duduk sekarang, 5 tahun sudah ua mengeyam suka duka di pesantren ini, walau ia masih sulit memahami pelajaran Nahwu – Shorof dari Kyai Husni, Kyai yang dikaguminya, serta bahasa arab yang didapat dari gus Gasan, Lurah Pondok, tak terasa sudah begini lamanya ia meninggalkan sanak family dirumah 5 tahun adalah waktu yang sangat lama saat ia bersentuhan dengan hiruk pikuk pesantren yang serba ketak, tetapi begitau sekejab saat ia melangkahkan kakinya menuju gerbang pesantren diiringi nyanyian – nyanyian sholawatan dan alunan musik rebana

Sebelum benar-benar meninggalkan kawasan pesantren, ia berbalik arah sejenak mencari-cari keberadaan keempat sahabat karibnya, teman sekamarnya, ia sedikit mengangkat tumitnya dan berdiri dengan terkukun jari kakinya, untuk melemparkan ke arah yang lebih jauh, Kyai Husni, Nyai Hamisatun Ibunya berserta para mursyid dan santri senior terkejut melihat tingkah ahsan tersebut dengan penuh rasa pensaran, mereka juga turut membalikkan tubuhnya seraya mengikuti Ahsan, semua terdiam menatap tingkahnya, kecuali gerup music rebana yang mengiringinya, raut mukanya sedikit gelisah menantikan mereka “AHSAN” ayo pulang nak!” bujuk ibunya

“waktu kita sudah sempit, apa yang kamu tunggu lagi”

AHSAN tak menjawab pertanyaan ibunya, seketika lambaian tangan Furqon, Khlili, Fariz dan Hafidz dari kejauhan mengukir senyuman simpul dibibirnya, pertanda bahwa ia terlihat bahagia, saat ini keempat temannya tersebut berusaha sekuat tenaga, menerobos kerumunan para santri yang begitu sesak di hadapan mereka sambil memanggil-manggil nama Ahsan sesaat dilihatnya sekeliling mereka yang dipenuhi ratusan bola mata yang dipenuhi rasa penasaran menanti apa yang akan terjadi setelahnya, setelah beberapa saat terdiam dalam hitungan detik terpang panglah sebuah petunjukkan yang serut akan lupa emosi yang tak terkira dalamnya, para sahabat karip itu berpelukan erat seakan sedang merupakan kerinduan yang luar biasa tulusnya, siapa yang melihatnya seakan turut merasakan apa yang berada dilubuk hati mereka siapapun yang menyaksikannya seakan bersimpati bahkan berempati merasakan setiap titik emosi yang tercurahkan dari dalam diri masing-masing, hati mana yang tak teriris oleh ironi dan tergores oleh pilunya pemandangan yang tertera didepan mata, tanpa diduga, mengalirlah tetes demi tetes air yang keluar dari setiap insan yang hadir dalam pertunjukan memilukan itu, tak terkecuali ibu Ahsan, Kyai Husni, dan Nyai Homisatul Badriah

“jangan lupa pesan Kyai Husni, amalkan ilmu sampean yo! Jawab Ahsan dengan suara lantang sembari menirukan bahasa dan cara bicara teman-temannya, masyarakat sekitarnya

Semuapun tersenyum senang sekarang tanpa kecuali, Ahsan kembali memutar tubuhnya menghadap sang ibu, serta hadrat as-syaikh dan istrinya terasa ada sesuatu yang menyokongnya dari dalam dada yang mengisyaratkannya untuk memperkuat dirinya, untuk memperlihat ke depan, melihat ke masa dating, ibu Ahsan, syarifah, mengulurkan tangannya kepada Ahsan saraya mengajaknya pulang, sekarang pun seakan Ahsan tidak merasa terberat lagi akan keputusan sang ibu dan kedatangannya yang begitu mendadak, seumur-umur, orang tua Ahsan akan memberitahunya saat mereka akan mengunjunginya kepesantren, namun tidak dengan saat ini

Dengan suara rebana yang kembali berkumandang di aula pesantren, mendendangkan sholawat atas nabi, Ahsan memberanikan diri untuk mendekati ibunya, iring-iringan sholawat seperti, Yaa khoio maulud, silatullah wasalam, miftahul jannah dan lain sebagainya seakan bergantian keluar dari lisan ihlas dan tulus para penyanyi rebana, sementara itu, Ahsan mencium tangan Kyai Husni dan para Mursyid yang hadir disitu utamanya para laki-laki, ia berpamitan kepada mereka sembari meminta maaf atas kesalahannya yang pernah ia lakukan semasa nyantren, utamanya Kyai Husni, tak lupa ia juga meminta do’a Kyai Husni seraya mengharapkan harapan-harapan baik, juga pesan-pesan yang ingin ia dengar dari lisannya secara langsung, ia sangat menyeganinya

“Fastabiqul Khoirot-lah cong!”

Ahsan mengunci rapat pesan Kyai Husni yang satu ini sangat mendengarnya, sejak pertama tiba, kalimat inilah yang pertama kali ia dengar

Ahsan bersiap menaiki mobil ibunya, namun lagi, ia membalikkan tubuhnya menghadap gerbang pesantren yang besar, aula pesantren yang terlihat sesak oleh kerumunan para santri yang mengantar kepergiannya, ia lambaikan tangan kepada mereka sembari berusaha untuk terus menampakkan senyuman lebar dibibirnya, seketika cukup, ia mulai membuka pintu mobil didepannya lalu masuk, ia buka kaca jendela mobilnya sekedar melihat kearah gerbang besar disisinya

“Assalamu’alaikum!!!”

Teriak Ahsan nyaring dan menggema, dari dalam mobilnya, lalu terdegar jawaban serempak dari luar mobil, pertanda bahwa mereka telah saling menerima apapun yang sudah digariskan Allah saat ini. Ahsan telah siap meninggalkan pesantren Miftahul Ulum yang telah menemaninya selama 5 tahunan, ia dan ibunya pula telah siap pulang ke Jakarta, seketika sang sopir segera membunyikan mobilnya dan dalam sekali tancap, mobil tersebut melaju ketempat tujuan yang jauhnya ratusan kilo meter

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *